Jumat, 24 Oktober 2014

MENGUAK TRADISI MALAM 1 SURO

MENGUAK TRADISI MALAM 1 SURO

Upacara tradisi Malam Satu Sura di lokasi
bundaran Tugu Jogja.
Peringatan Tahun Baru Jawa atau yang dikenal
dengan “Malem 1 Suro” biasanya memiliki
banyak ritual tradisi baik di Jawa dan Madura,
terutama di bekas kekuasaan Mataram semasa
pemerintahan Sultan Agung minus Jakarta,
Banten, dan Banyuwangi (Blambangan).
Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender
Jawa di bulan Sura atau Suro dimana
bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender
hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan
Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah
(Islam).
Satu suro biasanya diperingati pada malam
hari setelah magrib pada hari sebelum tangal
satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini
karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat
matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan
pada tengah malam.
Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam
masyarakat Jawa, hari ini dianggap kramat
terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk
sebagian masyarakat pada malam satu suro
dilarang untuk kemana-mana kecuali untuk
berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Masyarakat Jawa yang kental dengan nuansa
tradisi ini biasanya melakukan berbagai ritual
semacam Tapa Bisu, atau mengunci mulut
yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama
ritual ini. Yang dapat dimaknai sebagai
upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri
atas apa yang dilakoninya selama setahun
penuh, menghadapi tahun baru di esok
paginya.
Tradisi lainnya adalah Kungkum atau berendam
di sungai besar, sendang atau sumber mata air
tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa
khususnya di seputaran Yogyakarta adalah
Tirakatan atau Lek-lekan (tidak tidur semalam
suntuk) dengan tuguran (perenungan diri
sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit.
Diantara tradisi tersebut ada juga sebagian
masyarakat yang menggunakan malam satu
suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan
ruwatan.
Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk
bersemedi di tempat sakral seperti puncak
gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam
keramat.
Mengenal Sejarah Tahun Jawa atau 1 Suro
Tahun Jawa yang dimulai 1 Suro ditetapkan
oleh Sultan Agung, raja terbesar Mataram
Islam yang berkuasa pada tahun 1613-1645.
Sultan Agung menciptakan Kalender Jawa
dengan memadukan Kalender Saka yang
berasal dari India (penanggalan syamsiah-
amariah/candra-surya/luni-solar) dengan
Kalender Hijriah asal Arab.
Waktu itu Kalender Saka bertarikh tahun 1547
sementara Kalender Hijriyah bertarikh tahun
1035. Pada tahun 1625 Sultan Agung yang
berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha
merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas
memeluk agama Hindu-Budha yang
menggunakan Kalender Saka.
Menurut tradisi dan kepercayaan Jawa, bulan
Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib
yang begitu kental melebihi bulan-bulan
lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi,
setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai
cara sudut pandang, demikian juga dalam
Tahun Jawa.
Menguak Misteri 1 Sura: Relasi Agama dan
Tradisi
Misteri 1 Sura terkait dengan salah satu
pandangan dalam tradisi Jawa bahwa ada
yang disebut dengan Sura Duraka. Disebut
bulan Sura Duraka sebab pada bulan ini sering
terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat
negatif, sehingga melahirkan banyak korban
bagi mereka yang tidak eling dan waspada.
Akibatnya, muncul banyak musibah dan
bencana melanda jagad manusia.
Pada umumnya, masyarakat melakukan ritual
dengan kungkum, berebut air jamasan pusaka,
tapa bisu, ziarah kubur, dan sejenisnya. Bagi
umat Katolik, sebagai pengikut Yesus Kristus,
semua tindakan itu tidak lagi diperlukan untuk
menyambut 1 Suro.
Kendati demikian, Gereja memberi ruang dan
tempat yang selaras dengan iman Katolik bagi
mereka yang masih menghayati tradisi Suran
(menyambut 1 Suro). Maka, dilaksanakanlah
inkulturasi iman Katolik. Salah satunya, melalui
Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi adalah
cara terbaik merajut inkulturasi iman Katolik
dalam menyambut 1 Suro.
Titik temu antara ritual satu suro dengan
ekaristi terletak pada pemahaman bahwa orang
menyambut 1 Suro dengan berbagai ritual-
kultural mereka pertama-tama demi
memperoleh berkah! Bila “ngalap berkah” yang
menjadi tujuan, maka, cara yang paling tepat
dan benar bagi orang Katolik untuk “ngalap
berkah” dalam menyambut 1 Suro adalah
dengan mengikuti Perayaan Ekaristi.
Sedang bagi umat Muslim, cara menyambut 1
Sura itu adalah untuk berinstrospeksi yaitu
dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa
nafsu.
Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00
saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara
serempak di Kraton Ngayogyakarta dan
Surakarta Hadiningrat sebagai pusat
kebudayaan Jawa.
Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1
Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet
sebagai Cucuking Lampah.
Kebo Bule merupakan hewan kesayangan
Susuhunan yang dianggap keramat. Di
belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah
para putra Sentana Dalem (kerabat keraton)
yang membawa pusaka, kemudian diikuti
masyarakat Solo dan sekitarnya seperti
Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.
Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro
dengan cara mengarak benda pusaka
mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh
ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak
diperkenankan untuk berbicara seperti halnya
orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal
dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.
Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan
oleh kelompok-kelompok penganut aliran
kepercayaan Kejawen yang masih banyak
dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut
datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan
atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa
meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan
waspada. Eling artinya manusia harus tetap
ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya
sebagai ciptaan Tuhan.
Sedangkan waspada berarti manusia juga
harus terjaga dan waspada dari godaan yang
menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian
masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan
pernikahan selama bulan Suro.
Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung
dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras
dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan
Suro./prapto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar